
Suryatin Setiawan, Konsultan dan coach Digitalisasi, pelaku usaha.
Slogan ini sudah digaungkan setiap rejim, dari Sukarno sampai Jokowi, sudah seumur Republik ini. Pada hari Kebangkitan Nasional 2021, tajuk rumit ini kembali di-curhat-kan oleh Menko Luhut Panjaitan yang menyampaikan dari APBN 1300 triliun rupiah setidaknya ada 300 triliun yang bisa dibelanjakan membeli produk dan jasa lokal, dan itu belum dilakukan.
Nyata sudah, sampai kita merdeka hampir 76 tahun kita tak berhasil membuat para pengambil keputusan di birokrasi, lembaga hukum dan parlemen serta korporasi , khususnya korporasi besar kita untuk benar, jujur, dan sepenuh hati menjadi orang Indonesia yang berdaulat dan mau menjadi penjaga dan perawat hasil sendiri.
Persoalan besar bukan di lapisan masyarakat Indonesia kebanyakan tetapi pada kekosongan preferensi yang bersih, tegas dan murni kepada hasil lokal di hampir semua pemegang keputusan pemilik anggaran di birokrasi dan perusahaan lokal termasuk, mungkin terlebih lebih, BUMN
Dengan kenyataan tiga perempat abad kita berhenti pada slogan pastilah ada soal fundamental yang harus diselesaikan yang nampaknya hanya mungkin dengan kesepakatan bangsa melalui kesepakatan ketiga kekuatan trias-politica , pemerintah, parlemen dan lembaga judisial.
Dampak sikap koruptif yang masif
Logika dasarnya adalah, agar hasil lokal (produk dan jasa) bisa makin bermutu dan besar bersaing adalah memberi kesempatan dan pengawasan yang terus menerus tiada henti, rezim ke rezim, sampai betul menjadi produk yang kuat bersaing global.
Indonesia sebetulnya punya kesempatan ini di tahun 1980an namun tidak berhasil menyadari dan memanfaatkannya. Pada masa itu China belum sehebat ini, namun kebijakan masuknya semua produsen asing di China men-syaratkan pemaksaan yang konsisten agar produsen menanam modal besar, mempekerjakan tenaga lokal tidak hanya di tingkat buruh dan memenuhi target alih teknologi yang terukur kepada orang China, untuk membangun industri yang kuat.
Pada awal 80an saya baru mulai bekerja sebagai sarjana teknik telekomunikasi dan langsung bergabung dengan BUMN di Bandung. Kami direkrut saat itu karena ada proyek SBK (stasiun bumi kecil) 100 dari pemerintah yang dialokasikan (tunjuk langsung, bukan tender) kepada tiga perusahan lokal, dua BUMN dan satu swasta. Indonesia saat itu mengalami loncatan besar dalam industri telekomunikasi, ketiga perusahaan lokal itu dalam kurun waktu singkat terlihat bangkit, kuat dan percaya diri melalui pengalaman dan penugasan berharga itu, tidak ada keributan soal tunjuk langsung dan semua bisa berjalan baik tanpa cacat.
Dari ketiga perusahaan itu, karena masih bayi sudah dilepas, dan mulai diadu langsung di pasar, serta sebagai BUMN memiliki pemilik de-facto yang berbeda setiap selesai pemilu dan tidak ada kesepakatan nasional bahwa industri harus terus dijaga konsisten kemajuan nya sampai jadi kuat
oleh setiap kabinet maka sekarang yang swasta sudah almarhum, satu BUMN pingsan dan satu lagi tetap kecil.
Kekosongan preferensi pada hasil lokal terjadi karena dampak sikap koruptif yang masif sampai saat ini, tunjuk langsung dilarang dan pasti akan diperiksa penegak hukum karena kita masih dibalut niat kotor bahwa pemberi proyek selalu meminta imbalan upeti. Kekuasaan selalu barter dengan ‘uang kembalian’ , lihat saja semua kasus OTT korupsi itu, banyak calo dari pojok pojok eksekutif, legislatif dan yudikatif yang berdagang kekuasaan menentukan nasib orang/organisasi dan ini terus terjadi ditingkat operasional sehari hari. Moda tunjuk langsung / penugasan yang sangat perlu dalam membesarkan hasil industri lokal tidak bisa lagi dipakai dan persaingan dibuka lebar lebar dan pemain global bisa dengan bebas menggilas pelaku lokal yang masih terus hijau atau kerdil.
Produk lokal tidak bermutu ( benar dan salah )
Bagi para pemegang keputusan pemilik anggaran itu, alasan yang dipakai adalah bahwa hasil lokal tidak bermutu, kalah dengan hasil pemain global. Sikap ini mungkin sekali benar (tidak selalu) tetapi salah dalam konteks komitmen bersama sebagai bangsa untuk berdaulat dan mempertahankan eksistensi diri.
Bagi anda baby-boomers pasti masih ingat olok-olok zaman tahun 60-an tentang mobil Mazda ‘kotak sabun’ saking buruk dan sederhananya mobil Mazda itu. Tetapi perawatan Jepang atas industri nya membuat Mazda jadi pemain otomotif yang bergengsi sampai saat ini.
Ketika mobil Esemka tertatih tatih mulai muncul, tiba-tiba ada pemilik otoritas regulasi menghadang garang dengan alasan sahih yaitu harus lulus uji emisi yg ketat , sebuah sikap standar ganda yang menggelikan karena banyak sekali kendaraan umum yang berkeliaran di jalan raya sambil menyembur polutan yang dihisap para pengendara motor di sekitar nya dan itu tidak ditindak atau jadi masalah. Entahlah ada atau tidak lembaga pemerintah dan swasta besar yang konsisten membeli mobil Esemka agar industri mobil itu jadi besar, terus berganti model dan meningkatkan teknologi, estetika dan keandalan dan segera masuk ke EV (electric vehicle) . Padahal peluang Indonesia masuk industri EV terbuka lebar karena berbeda dengan mobil bensin, EV jauh lebih sederhana permesinan dan komponen nya.
Kisah memilukan ini terjadi dimana mana , industri lokal perangkat telekomunikasi, pertahanan, elektronika, pesawat terbang dan sekarang malah menjalar ke industri rakyat dalam bidang ‘fashion’ karena kebijakan aneh yang ada sehingga beli batik atau sandang di pasar tanah abang lebih murah beli yang impor daripada hasil lokal. Bagaimana industri rakyat mau bersaing dengan pemain besar luar yang volume, teknologi, effisiensi dan dukungan pemerintahnya lebih besar sementara yang lokal harus berjuang mati matian dengan ‘hanya’ dukungan kredit dan slogan ?
Bangga diasosiasikan dengan asing dan kecenderungan hedonism
Masalah ini memang ada dan nampak di lapisan elit kita. Memiliki branded goods adalah kebahagiaan, tentu saja ini hak pribadi, namun sebetulnya kualitas kita bisa juga diukur seperti Mark Zuckerberg yang kaya raya dan ternama itu, yang cukup berkaos oblong abu abu dan tidak
menggunakan barang bermerek mewah dan dia tetap popular dan terhormat. Dalam hampir setiap kasus koruptor yg kena OTT muncul fakta rumah dan mobil mewah, tas dan arloji super mahal, tinggal di appartemen mewah di New York dll. Sikap bahagia hanya kalau memiliki merek asing ternama tentu tidak menguntungkan produk lokal untuk tumbuh dan lalu jadi industri besar.
Kalau referensi kita adalah berdaulat dan secara bersama, sebagai bangsa, kita bangkit, maka membeli sebuah sepeda impor yang ternama itu sebetulnya sama dengan belanja lebih dari sepuluh sepeda listrik pabrik lokal.
Senang diasosiasikan dengan asing tidak hanya soal beli branded goods tetapi juga sebagai elit lembaga/ korporasi senang kalau banyak vendor global yang ‘bersahabat’. Dan, banyak orang muda elit Indonesia yang senang berbicara dengan sisipan banyak kata dan ekpresi bahasa Inggris padahal bicara dengan sesama orang Indonesia.
Lalu, apakah kesepakatan berdaulat dan bangkit itu masih ada harapan ? Mungkin bisa ditumbuhkan dari pernyataan Sri Mulyani bahwa untuk tidak masuk dalam jebakan kegagalan middle-income economy maka Indonesia bersama sama harus secepat mungkin sebelum 2030 meningkatkan produktifitas dan daya saing dan kualitas orang (cognitive, karakter dan softskill) melalui pendidikan yang sedang di-merdeka-kan oleh mas Nadiem. Ini nasib kita bersama!
Notifikasi masuk, HP saya memuat sebuah video saat pedagang kecil pasar Beringharjo Yogyakarta tegak dan khidmat berdiri menyayikan Indonesia Raya pada Harkitnas 2021 dan saya hanya bisa menangis haru sambil hampir punah harapan….