
Suryatin Setiawan; Senior coach , digitalisasi organisasi dan bisnis
Tristan Haris : “Gratis adalah model bisnis yang paling mahal yang dibayar oleh kemanusiaan”
Tristan Haris pernah bekerja sebagai ‘design ethicist’ di Google dan kemudian menjadi penyebar paham bahwa revolusi digital melalui social media yang semula terasa mengembangkan pikiran kini sudah menjadi pembajak pikiran manusia. Mirip dengan Tristan , Jaron Lanier seorang pelopor Virtual Reality dari Silicon Valley menyuarakan lagu kotbah yang sama. Jaron berkampanye agar kita semua menghapus semua akun sosmed kita sekarang sebelum semua platform itu berubah menjadi berbayar.
Karena gratis , sosmed digunakan oleh milyaran manusia di dunia. Agar platform sosmed bisa terus tumbuh dan bahkan menghasilkan untung maka dibalik gratis itu mereka membuat semua upaya agar manusia kecanduan menikmati ‘like’, jumlah followers, re-share, re-tweet dan fitur2 yang kreatif, dan lalu membuat algoritma yang melengkapi kecanduan dengan degradasi mutu mental manusia seperti gagal konsentrasi, turunnya stabilitas mental dan standar kepatutan, isolasi sosial, polarisasi, gampang tersulut kemarahan, ekstrimisme, maraknya kebencian dan conspiracy theory ,akibat algoritma terus menyelam makin dalam di pikiran kita untuk terus menarik perhatian . Model bisnis gratis memerlukan itu. Dengan sangat cepat, kemanusiaan telah diturunkan derajatnya.
Sekarang sosmed menjadikan manusia sebagai sumber perahan seperti sapi di peternakan. Dunia harus segera berubah dari ekonomi yang memeras sumber manusia kembali menjadi yang memudakan dan memperkaya manusia. Tidak lagi mengkaitkan laba bisnis dengan tingkat atensi manusia pengguna sosmed. Menjadi perusahaan internet yang besar tetapi tidak merusak standard akhlak dan etika, seperti Amazon dan semua e-market place yang berjaya, Traveloka, Netflix , Grab, Gojek dan banyak lagi, karena inti model bisnis mereka bukan gratis.
Seharusnya Facebook, semua sosmed raksasa itu dan Google sejak awal diatur oleh otoritas untuk hanya menjadi freemium service . Pada awalnya gratis, tetapi setelah manfaat dirasakan pengguna , orang harus bayar atas jasa yang digunakannya. Sekarang sudah terlambat.
Sosmed, raksasa yang lepas kendali
Tak perlu waktu lama, hanya dalam tempo belum genap satu setengah dekade, sosmed itu sudah menjadi raksasa dunia yang tak bisa dikendalikan lagi. Dampak erosi nilai standar kemanusiaan sudah dirasakan diseluruh dunia, dalam semua aspek kehidupan, merata disemua generasi dan menjadi senjata perusak yang menakutkan dalam kaitan perebutan pengaruh politik dan kekuasaan seperti yang kita alami baru baru ini.
Semua perusahaan internet raksasa itu makin menjadi berkuasa atas hajat hidup manusia , mereka bukan lagi perusahaan global tetapi menjadi penguasa dunia. Mirip Alibaba di China
yang melalui big-data platfom e-commerce dan financing mereka, melalui credit rating Sesame lalu menguasai semua data dan gerak gerik hampir seluruh penduduk China sehingga mulai tahun 2017 pemerintah China mengambil oper semua data dan mengendalikan Alibaba dan Tencent dalam hal mengakses dan memanfaatkan data pengguna bisnis mereka.
Semua raksasa internet itu masuk dalam semua cabang dan kemampuan ekonomi digital didepan dan mencengkeram manusia makin ketat. Tahun 2020 misalnya Facebook akan memulai global crypto currency dengan nama Libra dan sekaligus Calibra, yang dijalankan oleh anak perusahaan Facebook di Geneva Swiss, yang merupakan digital wallet dan diintegrasikan ke Facebook, Messenger dan Whatsapp sehingga seperti ujar Mark Zukerberg , transaksi keuangan akan jadi semudah berbagi foto di sosmed. Jadilah Facebook sebuah negara dengan teritori yang meliputi semua penjuru bumi, dengan warga negaranya berjumlah 4 milyar, yang mengatur dan mengawasi warga nya dalam berkomunikasi, berdagang, bayar- membayar, berpolitk, berkomunitas dan pendeknya kehidupan sehari hari setiap warga. Libra memancing reaksi keras dari bank sentral Eropa dan juga AS karena sebagai crypto-currency, uang Libra tidak punya pengendali pusat. Yang sangat ditakutkan bank-sentral dan pemerintahan negara dunia kini nampak wujudnya dan siap lahir.
Kendali sosmed, kesepakatan global
Tidak satu negarapun yang sekarang mampu mengendalikan sosmed , yang paling mendekati kemampuan tunggal ‘mengendalikan’ nya adalah Amerika Serikat negara asalnya. Departemen kehakiman AS tengah memulai penyelidikan pelanggaran anti-trust/ anti monopoli oleh semua perusahaan internet yang sudah jadi raksasa dunia itu. Salah satu capres partai Demokrat Pilpres US 2020, Elizabeth Warren juga menyatakan akan memecah raksasa internet yang sudah terlalu besar, berkuasa dan menjadi penghalang usaha baru yang tentu dari kecil asalnya . CEO Google menanggapi semua upaya ‘break-up’ ini dengan mengundang otoritas untuk bisa seimbang melihat juga bahwa skala raksasa diperlukan agar perusahaan punya kekuatan melakukan riset dan pengembangan teknologi jauh kedepan.
Pengendalian perusahaan internet raksasa hanya bisa dilakukan kalau ada kesepakatan global. Sebuah proses yang tidak mudah di zaman kini, tetapi harus diupayakan sebelum mereka benar menjadi de-facto negara dunia.
Ada empat jalan masuk yang mulai dipakai dunia untuk pengendalian itu : penerapan UU anti- trust , penerapan Digital Tax, adanya UU yang ketat dalam pengumpulan dan pemanfaatan data pribadi pengguna dan yang tidak kalah penting adalah pengharusan platform sosmed menerapkan standar etika dan tanggung jawab konten yang sangat tinggi.
Mula-mula EU mempermasalahkan cara licin raksasa internet itu menghindari pajak dengan membukukan transaski penjualan di negara ‘surga-pajak’. Upaya ini kemudian dibawa menjadi agenda dari pertemuan para menteri keuangan negara G-20 di Jepang baru2 ini , mereka belum bisa bersepakat bulat karena AS tentu saja berusaha melindungi jagoan internet yang hampir semua lahir di Silicon Valley. Ada dua pilar penerapan pajak yang sudah dirumuskan di pertemuan G20 itu yang disebut Digital Tax. Yang pertama, pajak penjualan diterapkan atas semua transaksi penjualan barang dan jasa yang terjadi di suatu teritori negara, bukan atas dasar dimana perusahaan internet itu tercatat. Yang kedua , penerapan
Global Minimum Tax Rate untuk membatasi kalaupun masih ada peluang menghindar maka tidak bisa tanpa batas minimum pajak lagi.
Data privacy selalu diunggulkan oleh semua CEO raksasa sosmed itu. Kenyataannya, kasus bergengsi muncul dalam proses pilpres AS 2016 ketika 50 juta profil pengguna Facebook dipakai oleh Cambridge Analytica untuk kampanye memenangkan salah satu capres AS dan juga Brexit vote. Data profil dan gerak-gerik pengguna sosmed dipakai untuk melayani para pemasang iklan yang merupakan sumber pendapatan utama dari sosmed. Mark Zuckerberg meminta maaf dan berjanji memperbaiki diri dan CEO Google mengatakan bahwa pemanfaatan data pribadi untuk iklan sangat terbatas dan sifatnya tidak permanen. Dalam soal privasi data-pribadi, perlawanan diberikan oleh pencipta teknologi web (Bernes Lee), dasar kelahiran semua sosmed dan perusahaan internet, dengan platform web baru Solid (solid.inrupt.com) yang menurut Bernes didesain untuk merebut kembali kekuasaan data dari raksasa internet termasuk Facebook dan Google karena dunia sudah salah arah.
Soal etika dan tanggung jawab konten yang dituntut, mendapat momentum besar setelah terjadi serangan terorisme di tiga lokasi masjid di New Zealand yang brutal dan biadab pada Maret 2019 dan memakan korban jiwa lebih dari lima puluh. Teroris jahat itu menyiarkan aksinya via live-streaming di Facebook dan konten itu tidak bisa segera dideteksi dan diturunkan oleh facebook , bertengger bebas selama tak kurang dari sejam dan terlanjur menjadi viral. PM Selandia Baru Jacinda Ardern segera berbicara dg Mark Zuckerberg dan meminta facebook sadar dan bertindak, Christchurch Call to Action dilanjutkan dalam pembicaraan Presiden Emmanuel Macron dengan CEO Twitter. Pada awal bulan Juni 2019 ini Youtube mengumumkan melarang dan menurunkan konten yang mengandung supremasi kulit putih dan kebencian.
Milyaran dollar digunakan para raksasa internet itu untuk riset dan pengembangan banyak macam teknologi digital maju, menjadi pertanyaan besar kalau kemampuan AI, deep-learning , computer visioning gagal secara real-time memblokir dan menurunkan semua konten berakhlak rendah dan jahat yang membahayakan manusia dan peradabannya, bencana besar dari sosmed gratis itu.
Kedaulatan hukum negara
Ketika dunia belum bisa bersepakat tentang penanganan semua dampak kerusakan peradaban akibat platform sosmed raksasa yang sudah menjadi realita pahit kemanusiaan maka wajarlah jika pemerintah masing masing negara di dunia mulai melakukan pengaturan hukum di wilayah masing masing.
Beberapa negara sudah memberlakukan hukum penanganan berita-bohong dan konten kebencian diantaranya Singapura , Rusia, Perancis, Jerman, Malaysia dan EU. Jerman bahkan memberlakukan keharusan platform sosmed raksasa dan web sites untuk menghapus konten bohong dan kebencian yang muncul .
Indonesia mendapat pengalaman luar biasa baru baru ini dalam menangani penyebaran berita bohong dan kebencian di internet. Dan seperti di semua negara, langkah-langkah
hukum itu tentu mengundang pro dan kontra. Tetapi pengalaman Indonesia menjadi langkah maju yang sangat dibutuhkan.
Indonesia perlu mempertimbangkan pajak-digital yang bisa diberlakukan , sebagian mengikuti pola pilar rumusan forum Menteri keuangan G20 dan sebagian bisa dirumuskan sendiri. Sebab, semua upaya pengamanan efek negatif sosmed membutuhkan dana yang tidak sedikit dan dana itu seyogyanya juga ditanggung oleh para sosmed raksasa itu.