
Suryatin Setiawan
Senior Digital Consultant and Coach – Komisaris TelkomTelstra
Salah satu hal paling positif dari majunya peradaban digital yang sudah jadi gaya hidup adalah soal penyebaran ilmu dan pengetahuan. Ketika era pra-internet ilmu dan pengetahuan sangat dibatasi di ruang2 kuliah, lab, perpustakaan dan buku pribadi. Hari ini ilmu di-demokratisasi, bisa mudah diakses oleh siapa saja dan kapan saja.
Inilah sebab utama mengapa Pendidikan di RI punya peluang untuk melakukan lompatan menunggangi gelombang peradaban digital maju. Peluang hanya dapat diraih kalau sikap, kebiasaan, ketrampilan dan sistem pengajaran di sekolah dan universitas segera berubah. Generasi baby-boomers, X, Y, atau Z , lebih lebih Generasi Alpha dan selanjutnya punya peluang besar menguasai ilmu dan pengetahuan tanpa mengandalkan Pendidikan formal. Dan lapangan kerja yang ada tidak terlalu lagi memerlukan ijazah, yang diperlukan adalah kemampuan. Ini sudah dimulai oleh Google dan Ernst & Young (EY).
Self-learning
Kemampuan dan sikap yang vital di era digital maju adalah ‘belajar sendiri’. Sikap ini perlu dimiliki siapa saja, terlebih lebih adalah dosen, guru, murid di sepanjang hidup. Jika budaya self-learning ini ada di kelas2 dan ruang didik di seluruh negeri maka orang Indonesia kemudian akan mampu menjadi unggul berkarya karena kompetensi yang dicari semua bisa didapat melalui MOOC (massive open on-line courses) dengan gratis atau berbayar, dengan atau tanpa gelar, dan banyak diberikan oleh universitas unggul kelas dunia dan instruktur/ professor yang reputasinya tinggi. Demokratisasi ilmu itu sudah nyata dan bahkan interaktif dan maju.
MOOC terkemuka di dunia merendahkan dirinya dengan tidak menyatakan diri sebagai open-university misalnya, namun ilmu dan kompetensi yang diajarkannya meliputi ilmu2 baru ekonomi dan peradaban digital yang mustahil bisa cepat ditawarkan di universitas tradisional terlebih yang birokratis dan dijerat oleh gurita regulasi ritual formalitas. Bagaimana memenuhi kebutuhan Indonesia akan digital scientist, cyber security expert, AI engineers, dan industry 4.O professionals kalau menunggu universitas formal membentuk prodi atau programnya?
Guru2 di Pendidikan dasar sampai menengah perlu difasilitasi untuk trampil dalam self-learning, Murid murid tidak lagi mendengar dan mencatat di kelas, karena mata-ajar bisa dipelajari sebelumnya , dan dikelas adalah saat menggali lebih dalam dan mengerjakan proyek berkelompok untuk mempraktekkan mata-ajar itu. Guru diberi petunjuk untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan nya dengan belajar sendiri di sumber ilmu yang handal di internet, mengakses berbagai bahan ajar yang jauh lebih menarik bagi guru dan murid karena formatnya memaksimalkan keluwesan , dinamika dan keindahan digital content. Apalagi tak berbayar.
Di sebuah SMA di Semarang seorang guru matematika mengubah Teknik mengajar di kelas dengan memaksimalkan salah satu MOOC yang gratis tapi berkelas dunia, khan academy yang dilengkapi dengan Learning Management System sehingga guru bisa memantau behavior anak didik sewaktu mempelajari mata-ajar yg ditugaskan. Guru sejarah mendapatkan bahan ajar sejara dunia yang tersedia gratis dalam bentuk animasi ala Gen Alpha sehingga jadi sangat menarik. Pedagogi menjadi bisa diterapkan nyata karena belajar di MOOC memungkinkan setiap anak belajar dengan ‘tingkat kecepatan’ nya masing2 dan tidak perlu malu.
Bahasa Inggris
Kenyataan dunia adalah bahwa ilmu dan pengetahuan yang tersedia di cyber-space itu ada dalam Bahasa Inggris. Jadi, bagi orang Indonesia, menguasai bahasa Inggris sungguh perlu. Memang ini adalah salah satu disadvantage sebagai orang Indonesia dibanding peer -nya di negeri jiran Malaysia, Singapore, Australia. Tetapi dengan budaya self-learning itu setiap kita bisa belajar bahasa Inggris setiap saat melalui pilihan kursus gratis dari ratusan atau lebih aplikasi HP (mobile-app) ataupun web. Ikut kursus seminggu sekali atau intensif tidak begitu relevan lagi. Belajar Bahasa adalah soal memakainya setiap hari, setiap saat, berbareng dengan memakai HP.
Agar supaya MOOC dan semua sumber ilmu di internet bisa digunakan memang guru, dosen dan murid Indonesia harus paham berbahasa Inggris. Ini bukan soal mau menaikkan gengsi seperti banyak dilakukan beberapa dari kalangan menengah dan atas. Ini soal menggali ilmu dan berdaya saing di era digital maju.
Sikap hidup, sikap kerja
Sudah sangat dikenal, beberapa unicorn Indonesia banyak sekali mengandalkan sumber daya profesi dan intelektual dari luar. Salah satu dari mereka misalnya pernah mencoba memenuhi kebutuhan programmer dari dalam negeri (mengapa tidak? Begitu banyak nya sekolah komputer, prodi IT / informatika ) dengan membuka ‘camp’ di Yogyakarta , namun akhirnya rencana baik dan logis itu tak bisa lanjut. Sebabnya kita juga semua paham. Jumlah lulusan sekolah programmer sudah pasti harusnya berlimpah. Namun jumlah itu tak bisa memenuhi kebutuhan bahkan hanya untuk pemberi kerja lokal karena dua hal, banyak lulusan yang suka menyeleweng dari jalur ilmu yang dituntut dan anehnya suka bekerja di perusahaan2 besar mapan yang dalam ekonomi digital rawan dadak-rubah dan hilang. Kedua, soal work-attitude. Yang kompeten dan mau kerja sangat keras dan menjaga komitmen kerja serta tidak ber manja ria adalah pekerja dari India dan Cina.
Ini tantangan raksasa bagi pendidikan RI, baik pendidikan formal maupun dalam keluarga dan masyarakat. Dimulai dengan perubahan sikap hidup dan sikap kerja dan ditambah dengan kompetensi yang relevan dari hasil pendidikan , barulah kita bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja sendiri khususnnya di era industry 4.O.
Catatan data sudah menunjukkan bahwa secara ekonomi Indonesia terus tumbuh, tetapi secara produktivitas lebih diam ditempat dengan nyaman.
Regulasi Pendidikan RI
Hampir di setiap pembicaraan dengan para pelaku pendidikan formal Indonesia , dasar, menengah, atas, maupun tinggi, muncul hawa ‘tak-berdaya’ atas begitu banyak batasan, aturan dan yang jauh dari proses kerja digital yang diberlakukan oleh otoritas. Ironi nya semua orang Indonesia tahu bahwa untuk mengangkat derajat bangsa dalam persaingan digital,( yang menyerahkan pekerjaan inteletual-rendah kepada robot dan software dan hanya menyisakan pekerjaan intelektual tinggi dan hakiki manusiawi kepada manusia ), yang harus berubah segera adalah sistem pendidikan RI.
Otoritas regulasi pendidikan perlu berubah sikap , kebijakan dan strategi. Yang diperlukan Indonesia sekarang dan ke depan adalah otoritas yang lebih bersikap fasilitator, support / sumberdaya pendukung, pendorong kemajuan sambil terus menjadi pengawas nilai2 , sehingga para pelaku pendidikan bisa cepat ber-transformasi menjadi sesuai dengan jaman dan mampu menyiapkan ekonomi dan orang Indonesia masuk dalam era ekonomi intellectual capitalism.
Saya banyak berinteraksi dengan pelaku pendidikan formal RI, saya kurang melihat gerakan merubah diri. Padahal ini soal maha penting bagi Indonesia di era ke depan. Ini program prioritas bagi pemerintahan baru yang akan terbentuk hasil pemilu tahun ini.