
Suryatin Setiawan – Bandung TalentSource
(Saya tulis di 27 Feb 2015 dan menjadi realita pada 2018 )
Setelah 20 tahun industri selular beroperasi di Indonesia, sampailah industri ke tahap jenuh, mencari pertumbuhan top line 2 digit adalah tugas yg tak mudah, pertumbuhan jumlah pelanggan sudah praktis selesai.
Masa emas industri selular Indonesia kira2 hanya berlangsung 12 tahun dan kini indikasi jenuh sudah nampak jelas.
Semua pelaku bertanya, babak baru industri layanan selular seperti apa bentuknya dan bagaimana membentuknya? Karena semua berpendapat kurva hidup kedua Selular masih sangat buram muncullah nama 2.O , nama keren untuk perubahan mendasar yg masih tak jelas wujudnya.
Semua top manajemen Selular dan barangkali juga para pemilik belum, atau tak mau, menemukan bentuk baru usaha Selular nya. Secara bisnis organic semua masih nyaman mencoba mencari solusi tactical belaka. Padahal semua teori bisnis dan manajemen mengatakan bahwa kurva hidup berikutnya dari suatu bisnis yang menjelang atau sudah jenuh adalah transformasi ke bentuk yang sama sekali baru. Tak bisa tactical lagi.
Sama seperti Yahoo yang masih tak bisa menemukan bentuk bisnis 2.O nya. Yang kalau tak segera ditemukan, Yahoo tanpa asset Alibaba dan Yahoo Japan akan segera menjadi sejarah. Bahkan Google, Facebook, Apple sudah demikian gencar eksplorasi semua kemungkinan masa depannya selagi bisnis dan sumber daya sedang demikian besar dan jaya, semua dicoba, dari satelit orbit rendah, fiber optic, robotic, drone, dan tentu saja aplikasi2 analytic yang mudah di aukisisi. Besar tak pernah menjamin bahwa masa depannya selalu cerah.
Yang pernah besar dan gagal menyiapkan masa depan karena kurang peka dan terdadak adalah Nokia dan Blackberry.
Menyadari dan menerima realita
Manajemen dan pemilik operator Selular di Indonesia perlu mengingat, menyadari dan menerima pakem dasar usaha Selular yang diantaranya:
- pemenang persaingan dalam layanan selular adalah pemodal paling kuat yang tetap mau menggelontorkan belanja modal, sedikit lebih besar dari pesaing terdekatnya. Kalau tidak bisa memobilisasi dana capex sulit menjadi pemenang sebab Indonesia terlalu luas bagi pemodal terbatas.
- layanan broad band cellular jauh lebih sulit dari layanan voice dan SMS. Sulit mencari profit dan pengembalian modal. Hubungan antara investasi jaringan dengan kenaikan revenue tidak instant dan tidak lagi linear sederhana
- Pasar bisnis dengan model kurva hidup 1.O yang masih dipakai sampai saat ini , nyatanya sudah jenuh. Dan sekedar bertahan tanpa secara strategic dan sistematik melakukan eksplorasi ranah dan model baru sama dengan menyiapkan penutupan binis.
Dengan kesadaran atas pakem dasar itu ada urgensi untuk segera melakukan penyesuaian korporasi secara strategic dan terencana untuk menemukan kurva pertumbuhan baru.
Salah satu kemungkinannya adalah menempuh strategi dengan tiga jalur ini yang pada dasarnya berupaya secepatnya menemukan konfigurasi, model bisnis dan portofolio baru yang mengembalikan pertumbuhan perusahaan.
1. Memperpanjang nilai riil layanan voice tradisional bukan VoIP
Pelanggan selular (dan telekomunikasi) Indonesia pada kebanyakannya masih sangat memerlukan layanan voice call yang handal dan suara yang jernih, tidak hanya di daerah kecil dan jauh bahkan sangat relevan di kota besar. Bisnis dan relasi sosial tetap banyak membutuhkan voice call. Komunitas bisnis masih banyak mengeluhkan drop call dan voice quality yang jelek. Mayoritas pendapatan operator masih berasal dari panggilan suara. Mengapa pertumbuhan panggilan suara menurun cepat? Bukan karena tiba2 orang Indonesia jadi tidak suka bicara dan lebih suka main texting tetapi karena rejim tariff untuk panggilan jarak jauh (kita mungkin sudah lupa istilah SLJJ) yang sudah sangat ketinggaln realita dan tua renta belum diperbaharui. Rejim tariff itu menghambat orang melakukan panggilan suara dengan leluasa. Rakyat kebanyakan kemudian mengakali rejim tariff dengan layanan on-net selular yang murah sekali atau bahkan gratis, satu orang punya beberapa SIM card. Orang Indonesia yang sudah sedikit canggih lalu pindah melakukan banyak sekali komunikasi messenger dan Skype untuk berkomunikasi , bahkan suara.
Tak pelak lagi , sangat suburlah semua OTT messenger global itu , dari BBM dulu, sampai Whatsapp dan LINE kini. Kebijakan tariff percakapan long distance Indonesia yang berlaku, membuat kita menjadi ladang subur sekali bagi OTT global. Kita terus protes akan penunggangan OTT pada infrastruktur kita tetapi kita sendirilah yang mengarahkan orang Indonesia menjadi pemakai fanatik semua OTT global messenger itu.
Bisnis voice masih bisa tumbuh lebih besar dari statistik yang praktis flat sekarang, kalau rejim tariff dan interkoneksi diganti menjadi realistik, terjangkau dan sederhana. Bukankah prinsip bisnis dengan volume besar adalah dengan memberi harga retail yang sangat terjangkau masyarakat?
Upaya kementrian Kominfo untuk tinjau ulang tariff dan interkoneksi perlu didukung dan dipercepat dan untuk menjaga layanan voice tidak pindah dalam paket data dan menyuburkan secara hebat OTT messenger global yang sulit dikenai pajak itu dan agar orang tak lagi perlu punya beberapa SIM card dalam dompet, maka opsi 4 dalam Dokumen Konsultasi Publik Kominfo : Penyempurnaan Regulasi Tariff dan Interkoneksi adalah opsi yang paling jitu dan cocok dengan realita zaman.
2. Mempertahankan margin/Mbyte layanan data .
Tantangan berat layanan mobile broadband bagi operator di seluruh dunia, tapi khususnya di Indonesia yang nilai tukar rupiah terus melemah terhadap USD, adalah kecilnya revenue/ Mbyte data. Di Indonesia operator selular kira-kira mendapatkan 65 rupiah/ MByte atau sekitar 0,5 cent USD , dan biaya operasi dan pemeliharaan jaringan kemungkinan mencapai 0.6 cent/ Mbyte. Jelaslah, tantangan operator selular di era mobile data access adalah mengelola margin per Mbyte yang harusnya positif .
Menaikkan revenue/MByte di Indonesia tidak mudah, apalagi kalau persaingan antar operator hanya sekedar memberi murah tanpa punya standard mutu layanan yang minimal. Menurunkan biaya jaringan per MByte terus diusahakan secara dunia dengan semua perkembangan teknologi yang luar biasa cepat dan agresif. LTE, NFV, SDN dan nanti 5G akan memastikan bahwa biaya jaringan itu bisa terus ditekan.
Dalam keadaan yang tak mudah ini industri dipaksa berubah. Relasi antara operator selular, infrastructure vendor dan tower provider harus berubah drastis ke relasi yg lebih mendalam dan imbang. Sudah berakhir hubungan sekedar jual beli putus diantara ketiganya dan kondisi pasar harus masuk ke dalam desain teknologi sejak teknologi masih di dalam pabrik. Tanpa merombak model relasi bisnis ketiga komponen pelaku bisnis dalam ecosystem industry selular ini akan berakibat degradasi mutu layanan dan saling negasi antar ketiganya. Pada saat yang sama Kominfo memberlakukan pengawasan standar mutu layanan selular yang ketat.
Operator selular di Indonesia tidak mungkin, demi citra bisnis, mempertahankan tingkat EBITDA margin yang terus dipegang selama ini tanpa mengorbankan mutu layanan. Kalau EBITDA margin terus bertahan, bisa dipastikan mutu layanan pasti terus turun.
3. Blue ocean layanan iklan, banking, payment di Smartphone.
Jalur strategi ke 3 adalah penemuan siklus hidup baru bagi perusahaan selular secara organik. Transformasi besar dalam hal sumber daya kunci, proses bisnis utama, kanal distribusi (dealership ala kurva 1.O sudah tidak diperlukan lagi), pelayanan pelanggan dan mitra bisnis. Ke enam komponen usaha tersebut akan sangat berbeda di era kurva kedua. Apakah manajemen dan pemilik selular berani melakukan transformasi itu? Jika tidak , kurva 2.O tidak akan pernah ditemukan.
Dengan melihat model bisnis semua perusahaan internet global yang sekarang menjadi OTT yang digjaya maka secara logika layanan yang sangat berpotensi dan sangat bisa dilakukan operator selular adalah memindahkan tayangan iklan ke smartphone, iklan suara, gambar maupun video. Mengapa smartphone bisa kalah dari TV manakala hari ini jumlah unit smartphone yang beredar sudah lebih besar dari jumlah pesawat TV, apalagi TV dan media tradisional lain bukan lagi jadi prime attraction mata kita ?.
Layanan mobile banking dan payment yang didorong BI dan diawasi OJK juga peluang luar biasa besar yang bisa masuk dalam agenda transformasi selular. Kalau selama ini semua hal itu pernah dicoba dan tidak berhasil muncul menjadi kurva dua itu karena pendekatannya terlalu teknis R&D dan bukan transformasi bisnis. Bisnis kurva dua adalah juga era behavior analytics pelanggan selular yang sampai saat ini tak mampu dilakukan dengan baik oleh operator.
Layanan M2M dan IoT (Internet of things) sering disebut sebut punya potensi besar, namun sampai hari ini tak nampak kedekatan M2M dan IoT dengan akses selular. Kedua layanan itu lebih dekat ke WiFi dan wireless interface lainnya seperti yang terjadi dengan wearables
Strategi tiga jalur ini mungkin hanya relevan maksimum sampai 10 tahun ke depan. Tekanan perombakan total struktur industri selular juga bisa terjadi dadakan kepada operator setelah wujud 5G, Next generation WiFi network dan MVNO Google menampakkan bentuk dan impaknya. Yang jelas, tak ada kemewahan waktu untuk menunggu lagi.